Kalau ada tempat di sepanjang
Sumatera yang ingin kembali saya datangi dan tinggal lebih lama, salah satunya
adalah Bukit Lawang! Menghabiskan waktu sambil bersantai dan membaca buku
adalah salah satu pilihan terbaik.Sungai Bukit Lawang dan panorama sekitarnya. Agak mengejutkan karena saya
menjadi satu diantara tiga orang saja pengunjung lokal yang ikut paket Orang
Utan Feeding. Selebihnya justru belasan bule dari berbagai negara di dunia
Alasan di atas cukup kuat untuk mendorong saya mengunjungi langsung lokasi konservasi orang utan di Taman Nasional Gunung Leuser. Kesempatan langka! Sudah sampai di lokasinya, kenapa idak sekalian berkunjung langsung. Berbekal informasi sana-sini, saya melesat 4 jam meninggalkan Medan menuju Langkat-Sumatera Utara. Aksesnya mudah. Dari Terminal Pinang Baris hanya satu kali bus menuju Bukit Lawang. Selanjutnya ganti becak motor selama kurang lebih 10 menit menuju loket utama.
Sepanjang perjalanan menuju Langkat, saya tertegun dengan perkebunan kelapa sawit yang luar biasa lebat. Tidak berlebihan, berjam-jam perjalanan rasanya hanya menyusuri lorong sawit tak berujung. Satu dua kali terdapat pabrik-pabrik pengepulan/pengolahan biji sawit di sisi jalan. Sementara itu, para penumpang umumnya akan berhenti di sebuah gang sempit diantara rimbun hijau palm oil trees yang sesungguhnya adalah akses menuju perumahan keluarga petani-petani sawit yang letaknya masuk di tengah hutan.
Gamba
Menurut cerita, banyak petani sawit
yang notabene adalah transmigran. Dahulu mereka mendapat 2 hektare tanah untuk
masing-masing digunakan sebagai area pemukiman dan pertanian. Tanamannya macam-macam
termasuk karet yang dulunya adalah primadona perkebunan. Sekarang, primadona
perkebunan berganti sawit. Ramai-ramai mereka beralih tanaman.
Berikutnya, lahan-lahan juga mulai
dialihfungsikan oleh perusahaan-perusahaan penguasa hak pengelolaan hutan
(HPH). Sebagian dari perusahaan besar itu bergabung dengan perusahaan asing.
Selanjutnya, mereka menjadi raja-raja minyak [sawit] dari Medan yang menguasai
berjuta-juta hektar lahan. Bagi petani lokal atau transmigran, lahan 2 hektare
berarti saaaaaangat-sangat mikro. Begitulah realita…
Nun di Bukit Lawang. Setelah
mendapatkan tiket di loket utama dan berjalan menyeberangi sungai menuju pos
jagawana, para peserta orang utan feeding akan di-briefing dengan
serangkaian informasi terkait orang utan. Pengunjung tidak boleh memberi makan
langsung orang utan, hanya pawang yang diperbolehkan demikian. Juga penting
untuk memperhatikan jarak. Pengunjung harus menjaga diri sekitar 7 meter agar
tidak terlalu dekat dengannya. Orang utan pada dasarnya hewan yang pemalu.
Takut dengan orang asing, takut pula dengan suara-suara bising. Oleh karena itu
selama pengunjung menyaksikan orang utan meraih buah-buahan dari jagawana,
semua wajib menjaga suara. Hanya bisikan saja terdengar dari satu pengunjung
dengan lainnya.
Sayangnya, ditengah keheningan yang
selalu dijaga oleh petugas dan pengunjung, terdengar suara menderu-deru tanpa
henti dari sisi lain Sungai Bukit Lawang. Sisi kanan sungai merupakan area
Taman Nasional, sementara sisi kirinya adalah kawasan eksploitasi. Kawasan yang
bisa dimanfaatkan untuk pemukiman atau perkebunan. Tidak mengherankan, semakin
tinggi mendaki bukit Taman Nasional semakin jelas terdengar suara deru gergaji
mesin dari arah yang bersebarangan. Benar-benar “berseberangan” dalam artian
ide maupun lokasinya.
Hilang atau punahnya orang utan
sudah diramalkan oleh beberapa pihak. Seniscaya hilangnya hutan-hutan yang
sudah dialihfungsikan. Sekedar mengambil perumpamaannya sesungguhnya banyak
sudah hal-hal besar telah hilang dari Sumatera Utara. Dalam arti kebudayaan,
pada masa lalu sangat dikenal adanya Kerajaan Barus, Langkat dan juga Deli.
Saat ini, sebagian meninggalkan jejak sejarah berupa bangunan atau
artefak-artefak kerajaan lainnya tapi sebagian besar lainnya telah musnah.
Hanya nama yang dikenal, seperti halnya “kapur barus” yang sudah sangat
mendunia.
Gambar
Surga-surga yang hilang. Demikian saya menandai kesan saya
terhadap Sumatera Utara. Melihat masa lalu, ada peradaban dan kerajaan besar
yang surut oleh tepi jaman. Sementara di masa depan, hutan dan seisinya mulai
terancam. Alam dan seisinya, tempat manusia dan makhluk lainnya berbagi
kehidupan, seharusnyalah dibagi untuk masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar